Senin, November 17, 2025
Tech News, Magazine & Review WordPress Theme 2017
  • Beranda
  • Berita
  • Pengumuman
  • Download
  • Blog
    • Artikel
    • Ragam
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Pengumuman
  • Download
  • Blog
    • Artikel
    • Ragam
No Result
View All Result
Universitas Wira Buana
No Result
View All Result
Home Blog Ragam

Malam Satu Suro: Antara Sakral, Mistis, dan Kekayaan Tradisi Indonesia

Rachman by Rachman
25 Juni 2025
Malam Satu Suro: Antara Sakral, Mistis, dan Kekayaan Tradisi Indonesia
Share on FacebookShare on Twitter

Table of Contents

Toggle
  • Apa Sebenarnya Malam Satu Suro? Membedah Sejarah dan Makna
  • Jantung Budaya Jawa: Ritual Hening dan Kirab Agung
  • Gema Suro di Pelosok Nusantara: Ragam Tradisi yang Memesona
  • Inti Filosofi: Pesan Moral di Balik Ritual
  • Kesimpulan

Keheningan malam terasa lebih pekat. Di beberapa sudut kampung, aroma kembang setaman dan asap kemenyan yang dibakar menyelinap tipis di udara, berpadu dengan lantunan doa dan rapalan wirid yang syahdu. Inilah penggalan suasana khas saat Nusantara menyambut datangnya Malam Satu Suro. Bagi sebagian orang, malam ini diselimuti selubung mistis, dianggap keramat, dan bahkan sedikit menakutkan. Namun, di balik citra tersebut, tersimpan sebuah kekayaan tradisi, kedalaman filosofi, dan spiritualitas yang menjadi cerminan luhur peradaban bangsa.

Malam Satu Suro adalah momen pergantian tahun dalam kalender Jawa, sebuah penanda waktu yang sarat akan makna sakral. Ia bukan sekadar perayaan, melainkan sebuah jeda untuk perenungan, sebuah pintu gerbang menuju tahun yang baru dengan jiwa yang lebih bersih. Mari kita selami lebih dalam makna sejati, jejak sejarah, dan ragam tradisi memukau yang hidup dan terus dilestarikan di berbagai penjuru Indonesia setiap kali Malam Satu Suro tiba.

Apa Sebenarnya Malam Satu Suro? Membedah Sejarah dan Makna

Untuk memahami esensi Malam Satu Suro, kita harus kembali ke abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram Islam. Sang Raja yang visioner ini menghadapi tantangan besar: rakyatnya terpecah dalam sistem penanggalan. Kaum santri dan masyarakat pesisir menggunakan kalender Hijriah yang berbasis peredaran bulan, sementara kaum abangan dan masyarakat agraris di pedalaman berpegang teguh pada kalender Saka yang berbasis peredaran matahari.

Demi persatuan politik dan spiritual, Sultan Agung menciptakan sebuah mahakarya sinkretisme budaya. Beliau tidak menghapus salah satu kalender, melainkan memadukannya. Angka tahun Saka tetap dilanjutkan, namun sistem perhitungannya diubah mengikuti kalender Hijriah yang lunar (berbasis bulan). Momen bersejarah ini terjadi pada hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka, yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah atau 8 Juli 1633 Masehi. Sejak saat itulah, lahir Kalender Jawa Islam yang kita kenal hingga kini.

Bulan pertama dalam kalender baru ini dinamakan “Suro”, yang diyakini berasal dari kata “Asyura”. Dalam tradisi Islam, Asyura (hari ke-10 di bulan Muharram) adalah hari yang dimuliakan, namun juga hari yang penuh keprihatinan, terutama bagi kaum Syiah yang mengenang tragedi gugurnya cucu Nabi Muhammad, Hussein bin Ali, di Karbala. Nuansa keprihatinan inilah yang turut mewarnai atmosfer bulan Suro dalam kebudayaan Jawa.

Lantas, mengapa Malam Satu Suro lekat dengan citra mistis dan angker? Pandangan ini muncul dari interpretasi terhadap esensi Suro itu sendiri. Masyarakat Jawa meyakini bahwa Suro adalah bulan yang sakral, waktu di mana gerbang antara dunia spiritual dan dunia manusia menjadi lebih tipis. Untuk menghormati kesakralan ini, leluhur menganjurkan untuk melakukan laku prihatin (tirakat), introspeksi, dan menahan diri dari hawa nafsu. Aktivitas yang bersifat hura-hura seperti pernikahan atau pesta besar biasanya dihindari. Anjuran untuk “hening” dan “merenung” inilah yang seiring waktu bergeser maknanya di sebagian kalangan menjadi “malam yang berbahaya” atau “malam keluarnya arwah”. Padahal, sejatinya, pesan utamanya adalah tentang pengendalian diri dan mendekatkan jiwa kepada Sang Pencipta.

Jantung Budaya Jawa: Ritual Hening dan Kirab Agung

Sebagai pusat kebudayaan Jawa, Yogyakarta dan Surakarta menjadi panggung utama bagi perayaan Malam Satu Suro yang paling ikonik dan megah. Di kedua kota ini, tradisi tidak hanya dilestarikan, tetapi juga menjadi tontonan budaya yang menarik ribuan orang.

1. Yogyakarta: Tapa Bisu Mubeng Beteng

Di Kesultanan Yogyakarta, puncak ritual Malam Satu Suro adalah Tapa Bisu Mubeng Beteng. Seusai tengah malam, ribuan orang, termasuk para abdi dalem keraton yang berpakaian adat lengkap dan masyarakat umum, berkumpul di area Keben. Tanpa komando, mereka mulai berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta sejauh kurang lebih 5 kilometer.

Sesuai namanya, ritual ini dilakukan dalam keheningan total. Tidak ada percakapan, tidak ada canda tawa, bahkan tidak ada bisikan. Para peserta berjalan dengan khusyuk, menundukkan kepala, dengan pikiran dan hati yang fokus pada perenungan. Tapa (bertapa) dan Bisu (diam) adalah simbol dari pengendalian panca indera dan hawa nafsu. Ritual ini adalah sebuah bentuk mawas diri atau introspeksi mendalam. Dengan berjalan dalam diam, setiap individu diajak untuk merefleksikan segala perbuatan, kesalahan, dan pencapaian selama setahun yang telah berlalu. Keheningan massal ini menciptakan energi spiritual yang kuat, sebuah meditasi berjalan untuk memohon ampunan, keselamatan, dan berkah bagi diri sendiri, keluarga, dan seluruh bangsa di tahun yang baru.

2. Surakarta: Kirab Kebo Bule Kyai Slamet

Bergeser sedikit ke timur, di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, perayaan Malam Satu Suro memiliki daya tarik yang berbeda, yaitu Kirab Kebo Bule Kyai Slamet. Tradisi ini berpusat pada arak-arakan sembilan ekor kerbau bule (albino) yang dianggap keramat dan merupakan pusaka milik keraton. Konon, kerbau-kerbau ini adalah hadiah dari Kyai Hasan Besari dari Tegalsari, Ponorogo kepada Paku Buwono II.

Kebo Bule Kyai Slamet selalu menjadi barisan terdepan dalam kirab, bahkan mendahului para pembawa pusaka utama keraton. Arak-arakan ini berjalan menempuh rute yang telah ditentukan, disaksikan oleh lautan manusia yang memadati jalanan kota Solo. Banyak masyarakat yang percaya bahwa kerbau ini membawa berkah. Mereka berlomba-lomba untuk menjamah tubuh kerbau atau bahkan mengambil kotorannya (tlethong) yang diyakini memiliki tuah kesuburan dan keberuntungan. Di belakang barisan Kebo Bule, para abdi dalem mengarak pusaka-pusaka keraton yang terbungkus kain kuning, menambah sakralnya prosesi di tengah malam yang hening.

3. Jamasan Pusaka: Ritual Penyucian Diri dan Benda

Baik di Yogyakarta, Surakarta, maupun di kalangan masyarakat luas yang memiliki pusaka, Jamasan adalah ritual yang tidak terpisahkan dari bulan Suro. Jamasan berarti membersihkan atau menyucikan. Objeknya adalah benda-benda pusaka warisan leluhur, seperti keris, tombak, pedang, hingga kereta kencana.

Prosesi ini bukanlah sekadar mencuci benda biasa. Air yang digunakan seringkali diambil dari tujuh sumber mata air yang dianggap suci. Air tersebut kemudian dicampur dengan bunga setaman (mawar, melati, kenanga, kantil) dan diberi perasan jeruk nipis untuk membersihkan karat. Setiap tahap dilakukan dengan doa dan tata cara khusus. Filosofi di balik Jamasan Pusaka sangatlah dalam. Ini adalah simbol penyucian, bukan hanya untuk membersihkan kotoran fisik pada bilah pusaka, tetapi juga untuk membersihkan energi negatif yang mungkin melekat. Secara spiritual, ritual ini merepresentasikan penyucian diri sang pemilik pusaka dan masyarakat, sebagai upaya untuk memulai tahun yang baru dengan hati dan jiwa yang bersih, terbebas dari “karat” dosa dan kesalahan masa lalu.

Gema Suro di Pelosok Nusantara: Ragam Tradisi yang Memesona

Kekayaan tradisi Malam Satu Suro tidak berhenti di Yogyakarta dan Surakarta. Di berbagai daerah, gema spiritual bulan Suro disambut dengan ritual unik yang berakulturasi dengan budaya lokal.

  • Cirebon: Di kota para wali ini, Malam Satu Suro di Keraton Kanoman diisi dengan tradisi pembacaan Babad Cirebon. Ini adalah cara keraton untuk napak tilas sejarah leluhur dan menyebarkan nilai-nilai ajaran Sunan Gunung Jati. Selain itu, masyarakat berbondong-bondong melakukan ziarah ke makam sang Sunan, memanjatkan doa dan mencari berkah.
  • Bantul: Di pesisir selatan Yogyakarta, khususnya di Pantai Samas, para nelayan menggelar ritual Sedekah Laut atau Labuhan Alit. Mereka melarung aneka sesaji berupa hasil bumi dan kepala kerbau ke tengah samudra. Ritual ini adalah wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki hasil laut yang melimpah selama setahun. Ini juga merupakan permohonan agar mereka senantiasa diberi keselamatan saat melaut di tahun yang akan datang.
  • Magetan: Di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, memiliki tradisi unik bernama Ledug Suro. Namanya berasal dari bunyi “le” dari bedug dan “dug” dari jidor yang ditabuh bersamaan. Puncak acara adalah prosesi Andum Berkah Bolu Rahayu, yaitu pembagian ribuan kue bolu kepada masyarakat sebagai simbol harapan akan keselamatan (rahayu) dan kemakmuran bersama.
  • Banyuwangi: Masyarakat Osing di Banyuwangi menyambut Suro dengan tradisi sastra dan spiritual, yaitu Mocoan Lontar Yusuf. Mereka berkumpul untuk membaca atau menyanyikan kisah Nabi Yusuf yang tertulis dalam aksara Arab Pegon di atas daun lontar. Kisah Nabi Yusuf yang penuh kesabaran, kebajikan, dan akhirnya meraih kemuliaan setelah melewati berbagai cobaan berat dijadikan teladan dan sumber inspirasi untuk menjalani kehidupan di tahun yang baru.

Inti Filosofi: Pesan Moral di Balik Ritual

Jika kita menarik benang merah dari seluruh tradisi yang ada, esensi Malam Satu Suro mengerucut pada beberapa nilai filosofis yang agung:

  1. Introspeksi dan Refleksi Diri (Mawas Diri): Inilah inti utama dari Malam Satu Suro. Setiap ritual, terutama yang bernuansa hening seperti Tapa Bisu, mendorong individu untuk melihat ke dalam diri, mengevaluasi perbuatan, dan merenungkan hubungan vertikal dengan Tuhan serta hubungan horizontal dengan sesama manusia dan alam.
  2. Eling lan Waspodo: Falsafah Jawa yang sangat populer ini menjadi relevan di bulan Suro. Eling berarti selalu ingat kepada Sang Pencipta, ingat akan tujuan hidup, dan ingat akan asal-usul diri. Waspodo berarti waspada dan berhati-hati terhadap segala godaan, bahaya, dan perbuatan tercela. Suasana prihatin di bulan Suro adalah momentum yang tepat untuk mengasah sikap eling lan waspodo.
  3. Syukur dan Harapan: Ritual seperti Sedekah Laut dan pembagian Bolu Rahayu adalah wujud nyata dari rasa syukur atas nikmat yang telah diterima. Dari rasa syukur itu, tumbuh harapan dan doa agar tahun yang akan datang membawa lebih banyak kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan.
  4. Pelestarian Budaya dan Penghormatan Leluhur: Merayakan Malam Satu Suro adalah cara sebuah generasi untuk terhubung dengan akar budayanya. Setiap ritual adalah transmisi nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur. Ini adalah bentuk penghormatan dan upaya untuk menjaga agar kearifan lokal tidak lekang oleh zaman.

Kesimpulan

Malam Satu Suro adalah sebuah mozaik budaya yang sangat indah dan kompleks. Ia adalah bukti kemampuan luar biasa bangsa Indonesia dalam menyerap, mengolah, dan memadukan berbagai pengaruh budaya—dari Hindu-Buddha hingga Islam—menjadi sebuah identitas baru yang unik dan penuh makna.

Sudah saatnya kita menggeser paradigma, melihat Malam Satu Suro bukan lagi sebagai malam yang diselimuti mitos menyeramkan, melainkan sebagai malam yang dipenuhi cahaya spiritualitas. Ia adalah malam perenungan, malam syukur, dan malam pengharapan. Ia adalah warisan tak ternilai yang mengajarkan kita tentang pentingnya introspeksi, pengendalian diri, dan keharmonisan dengan alam semesta.

Saat keheningan Malam Satu Suro kembali menyapa, kita diajak untuk tidak hanya menyaksikan ritualnya, tetapi juga meresapi maknanya yang mendalam. Sebab dalam setiap langkah tapa bisu, dalam setiap kepulan asap kemenyan, dan dalam setiap doa yang terpanjat, tersimpan kearifan agung yang terus relevan hingga kini.

Share186Tweet116Share47

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terbaru

  • Kuliah Ekonomi Syariah Kerja Jadi Apa? Simak Penjelasan Lengkapnya di Sini
  • Mengenal Prodi Manajemen Haji dan Umroh
  • 7 Strategi Mencapai Work-Life Balance di Era WFH (Anti-Burnout)
  • Mengenal Jurusan Manajemen Pendidikan Islam (MPI) dan Prospek Kerjanya
  • Prospek Kerja Lulusan Pendidikan Agama Islam: Tak Hanya Jadi Guru, Ini 5 Karier Umat di Era Digital
Seedbacklink

STATISTIK KUNJUNGAN

KONTAK

Alamat: JL AH. Nasution, No. 243, Yosodadi, Yosodadi, Kec. Metro Tim., Kota Metro, Lampung 34381.

Email: admin@wirabuana.ac.id

 

 

MAPS

  • Home
  • Kebijakan Privasi
  • Tentang Kami

© 2025 Universitas Wira Buana

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Pengumuman
  • Download
  • Blog
    • Artikel
    • Ragam

© 2025 Universitas Wira Buana