Program Keluarga Harapan (PKH) telah menjadi salah satu pilar utama dalam strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Sebagai program bantuan sosial bersyarat (conditional cash transfer – CCT), PKH bertujuan memutus rantai kemiskinan antargenerasi dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada keluarga sangat miskin.
Namun, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menerapkan model ini. Berbagai negara di dunia, terutama di Amerika Latin dan Asia, telah lebih dahulu mengimplementasikan program serupa dengan berbagai keberhasilan dan tantangannya. Membandingkan PKH dengan program-program tersebut dapat memberikan wawasan berharga mengenai desain, implementasi, dan efektivitas bantuan sosial.
Sekilas tentang Program Keluarga Harapan (PKH)
Diluncurkan pada tahun 2007, PKH memberikan bantuan tunai kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan syarat mereka memenuhi kewajiban di bidang kesehatan dan pendidikan. Komponen utamanya meliputi pemeriksaan kehamilan bagi ibu, imunisasi dan pemantauan tumbuh kembang anak balita, serta kehadiran siswa di sekolah dari tingkat SD hingga SMA. Besaran bantuan bervariasi tergantung pada jumlah dan kategori anggota keluarga yang ditanggung, seperti ibu hamil, anak usia dini, pelajar, penyandang disabilitas, dan lanjut usia. Tujuan jangka panjangnya adalah mengubah perilaku KPM untuk lebih sadar akan pentingnya layanan kesehatan dan pendidikan.
Pelopor dari Amerika Latin: Bolsa Família Brasil dan Prospera Meksiko
Banyak program CCT di dunia terinspirasi oleh keberhasilan program di Amerika Latin, terutama Bolsa Família di Brasil dan Prospera (sebelumnya Oportunidades/Progresa) di Meksiko.
Bolsa Família, Brasil: Dimulai pada tahun 2003, Bolsa Família menjadi salah satu program CCT terbesar di dunia dan diakui secara luas berhasil menurunkan angka kemiskinan dan ketimpangan di Brasil. Sama seperti PKH, program ini mentransfer sejumlah uang kepada keluarga miskin dengan syarat anak-anak mereka divaksinasi, mendapatkan pemantauan gizi, dan hadir di sekolah. Uniknya, Bolsa Família sering kali menyalurkan dana bantuan langsung kepada perempuan atau ibu dalam keluarga, dengan keyakinan bahwa mereka cenderung memprioritaskan dana tersebut untuk kebutuhan anak dan keluarga.
Prospera, Meksiko: Dianggap sebagai salah satu CCT modern pertama yang dievaluasi secara ketat, Progresa diluncurkan pada tahun 1997. Program ini tidak hanya memberikan bantuan tunai untuk pendidikan dan kesehatan, tetapi juga komponen gizi berupa suplemen nutrisi bagi anak-anak dan ibu hamil/menyusui. Prospera juga dikenal dengan evaluasi dampaknya yang solid, yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam angka partisipasi sekolah, terutama di tingkat menengah, dan perbaikan status kesehatan anak-anak. Berbeda dengan PKH yang terus berkembang, program Prospera di Meksiko mengalami perubahan signifikan dan akhirnya dihentikan pada tahun 2019 untuk digantikan dengan program beasiswa yang lebih terfokus pada pendidikan.
Cermin di Asia Tenggara: Pantawid Pamilyang Pilipino Program (4Ps)
Filipina juga mengadopsi model CCT melalui Pantawid Pamilyang Pilipino Program (4Ps) yang diluncurkan pada tahun 2008. Program ini memiliki kemiripan yang sangat kuat dengan PKH dan program di Amerika Latin.
4Ps, Filipina: Program ini memberikan hibah tunai kepada keluarga termiskin untuk meningkatkan investasi mereka di bidang kesehatan, gizi, dan pendidikan anak-anak usia 0-18 tahun. Syaratnya pun serupa: anak-anak harus hadir di sekolah minimal 85% setiap bulan, balita harus menjalani pemeriksaan kesehatan dan imunisasi, serta ibu hamil harus mendapatkan perawatan sebelum dan sesudah melahirkan. Selain itu, orang tua diwajibkan menghadiri Sesi Pengembangan Keluarga (Family Development Sessions) untuk memperkuat pengetahuan mereka tentang pengasuhan anak dan pengelolaan keuangan.
Analisis Perbandingan: Persamaan dan Perbedaan Kunci
Efektivitas dan Tantangan Bersama
Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa program CCT, termasuk PKH, secara umum efektif dalam meningkatkan konsumsi rumah tangga miskin dan mendorong pemanfaatan layanan dasar. Di bidang pendidikan, program-program ini berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah, meskipun dampaknya terhadap hasil belajar masih menjadi perdebatan. Di sektor kesehatan, terjadi peningkatan kunjungan ke fasilitas kesehatan dan kelengkapan imunisasi anak.
Meskipun demikian, program-program ini menghadapi tantangan yang serupa di berbagai negara:
- Akurasi Penyasaran: Kesalahan inklusi (penerima yang tidak seharusnya layak) dan eksklusi (keluarga miskin yang tidak terdata) masih menjadi isu utama. Perbaikan data terpadu kesejahteraan sosial menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini.
- Verifikasi dan Pemantauan: Memastikan kepatuhan terhadap persyaratan di wilayah yang luas dan terpencil memerlukan sistem pemantauan yang kuat dan sumber daya yang memadai.
- Dampak Jangka Panjang: Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa program ini tidak hanya menjadi jaring pengaman sosial, tetapi juga alat pemberdayaan yang efektif. Mendorong kemandirian ekonomi penerima agar dapat “lulus” dari program menjadi tujuan akhir yang sulit dicapai.
- Keberlanjutan Politis: Program bantuan sosial seringkali rentan terhadap perubahan politik. Keberlanjutan program sangat bergantung pada komitmen pemerintah yang berkuasa, seperti yang terlihat pada kasus dihentikannya Prospera di Meksiko.
Secara keseluruhan, PKH di Indonesia berjalan di jalur yang sama dengan program-program bantuan sosial bersyarat yang sukses di dunia. Dengan belajar dari pengalaman negara lain seperti Brasil, Meksiko, dan Filipina, Indonesia dapat terus menyempurnakan mekanisme penyasaran, pemantauan, dan strategi pemberdayaan untuk memastikan bahwa PKH tidak hanya efektif dalam mengurangi kemiskinan saat ini, tetapi juga berhasil dalam membangun generasi masa depan yang lebih sehat, terdidik, dan sejahtera.