Menu Tutup

Tradisi dan Upacara Islami di Sunda

Tradisi dan upacara Islami di masyarakat Sunda merupakan bagian penting dari kearifan lokal yang memadukan nilai-nilai agama dengan adat istiadat setempat. Praktik-praktik ini tidak hanya memperkuat hubungan sosial, tetapi juga memperkaya dimensi spiritual masyarakat. Artikel ini akan mengulas secara mendalam tradisi seperti Tingkeban, Reuneuh Mundingeun, Memelihara Tembuni, Gusaran, Sepitan, dan Cucurak, dengan fokus pada nilai-nilai religius, simbolisme budaya, serta relevansi dalam kehidupan kontemporer.


Upacara Mengandung Tujuh Bulan (Tingkeban)

Upacara Tingkeban merupakan tradisi yang diadakan saat seorang ibu memasuki usia kandungan tujuh bulan. Dalam kepercayaan masyarakat Sunda, angka tujuh melambangkan kesempurnaan, sehingga momen ini dipandang sakral untuk memohon keselamatan ibu dan bayi.

Makna Filosofis dan Ritual:

  • Persiapan dan Pelaksanaan: Tingkeban berasal dari kata “tingkeb” yang berarti tutup, yang mengacu pada larangan bagi pasangan untuk bercampur selama periode ini hingga 40 hari setelah persalinan. Tradisi ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan fisik dan emosional ibu hamil.
  • Rangkaian Upacara: Acara diawali dengan pengajian yang melibatkan pembacaan surat Yusuf, Lukman, dan Maryam dari Al-Qur’an. Ritual mandi dilakukan oleh tujuh orang keluarga dekat menggunakan air kembang tujuh rupa dan tujuh lembar kain batik.
  • Simbolisme: Guyuran terakhir melibatkan belut yang menyentuh perut ibu hamil, melambangkan kelancaran proses persalinan. Kelapa gading yang dibelah melambangkan doa agar bayi lahir dalam keadaan baik lahir dan batin.

Tingkeban juga mencakup aspek sosial dengan menjual rujak kanistren kepada tamu menggunakan “talawengkar” (koin dari genteng), menunjukkan nilai gotong-royong dan syukur bersama.


Upacara Reuneuh Mundingeun

Upacara ini dilakukan ketika seorang perempuan hamil melebihi sembilan bulan. Istilah “Reuneuh Mundingeun” berasal dari kata “munding” (kerbau), melambangkan keadaan kehamilan yang tertunda.

Pelaksanaan dan Simbolisme:

  • Ritual Tradisional: Perempuan hamil dikalungi kolotok (lonceng kecil) dan dituntun oleh “Indung Beurang” (tenaga tradisional) sambil membaca doa, menuju kandang kerbau atau mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali. Anak-anak yang memegang cambuk mengiringi sebagai simbol penyemangat.
  • Makna Spiritual: Tradisi ini mengajarkan pentingnya berserah diri kepada Tuhan dan menghormati proses alamiah kehidupan.

Meskipun jarang dilakukan di perkotaan, upacara ini merefleksikan kepercayaan akan keseimbangan antara manusia dan alam.


Upacara Memelihara Tembuni

Dalam budaya Sunda, tembuni atau plasenta dipandang sebagai saudara bayi yang memiliki hubungan spiritual. Oleh karena itu, pengelolaannya dilakukan dengan penuh penghormatan.

Ritual dan Filosofi:

  • Penguburan atau Penghanyutan: Tembuni dibersihkan, dimasukkan ke dalam pendil bersama garam, asam, dan gula merah, kemudian dikubur di halaman rumah atau dihanyutkan ke sungai. Di dekat tempat penguburan dinyalakan pelita hingga tali pusat bayi lepas.
  • Doa dan Tawassul: Ritual ini melibatkan pembacaan doa selamat dan tawasulan kepada Syaikh Abdul Qadir Jaelani serta ahli kubur, dengan harapan agar bayi selamat dan menjadi pribadi yang bahagia.

Tradisi ini mengajarkan nilai penghormatan terhadap kehidupan dan pentingnya menjaga harmoni spiritual sejak awal kelahiran.


Upacara Gusaran

Gusaran adalah tradisi meratakan gigi anak perempuan agar terlihat rapi dan cantik. Upacara ini mencerminkan perhatian terhadap estetika dalam kerangka budaya.

Tahapan Ritual:

  • Persiapan: Anak perempuan didandani dan duduk di tengah para undangan, kemudian doa dan shalawat Nabi dilantunkan.
  • Proses Gusaran: “Indung Beurang” meratakan gigi menggunakan alat khusus. Setelah itu, anak dibawa ke tangga rumah untuk disawer dengan nasihat melalui syair lagu.
  • Simbolisme: Tradisi ini menunjukkan perhatian terhadap kecantikan sekaligus mengajarkan nilai moral kepada anak perempuan.

Biasanya, upacara Gusaran juga melibatkan tindikan (melubangi telinga) untuk memasang anting sebagai simbol keindahan.


Upacara Sepitan/Sunatan

Sunatan merupakan salah satu syarat penting dalam ajaran Islam dan dilakukan sebagai bentuk pembersihan. Dalam tradisi Sunda, upacara ini dirayakan secara meriah.

Pelaksanaan dan Nilai Sosial:

  • Proses Awal: Anak yang akan disunat dimandikan di pagi hari, kemudian dipangku untuk dibawa ke halaman rumah. Paraji sunat (bengkong) melaksanakan sunatan disaksikan oleh banyak orang.
  • Hiburan Tradisional: Selama upacara, hiburan seperti wayang golek, sisingaan, atau tarian tradisional sering kali diadakan untuk memeriahkan suasana.
  • Makna Spiritual: Tradisi ini mengajarkan pentingnya menjalankan kewajiban agama sekaligus mempererat hubungan sosial melalui kebersamaan.

Cucurak

Cucurak adalah tradisi makan bersama yang dilakukan masyarakat Sunda, khususnya menjelang Ramadan.

Makna dan Praktik:

  • Pelaksanaan: Kaum ibu memasak berbagai makanan yang kemudian dikumpulkan di masjid untuk dimakan bersama. Variasi lain adalah makan bersama di rumah dengan niat menyambut Ramadan.
  • Nilai Sosial dan Religius: Cucurak menjadi sarana mempererat silaturahmi, saling memaafkan, dan mensyukuri berkah rezeki. Tradisi ini juga menanamkan semangat berbagi dan gotong royong.

Cucurak, dengan segala kesederhanaannya, mencerminkan nilai syukur dan kebersamaan yang menjadi inti dari ajaran Islam.


Kesimpulan

Tradisi dan upacara Islami di Sunda, seperti Tingkeban, Reuneuh Mundingeun, Memelihara Tembuni, Gusaran, Sepitan, dan Cucurak, mengandung nilai-nilai keagamaan dan sosial yang tinggi. Setiap tradisi memiliki makna filosofis yang dalam, mencerminkan kearifan lokal yang berakar pada ajaran Islam. Pelestarian tradisi ini tidak hanya penting untuk menjaga identitas budaya, tetapi juga sebagai sarana mendidik generasi muda tentang nilai-nilai kehidupan yang luhur.

Melalui tradisi ini, masyarakat Sunda menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam dapat berintegrasi dengan adat, menciptakan harmoni yang memperkaya kehidupan spiritual dan sosial. Pelestarian dan pengembangan tradisi-tradisi ini menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga warisan budaya yang berharga

Lainnya: